Menu
Menu

Yang kau lihat hanya fatamorgana.


Oleh: Achmad Rofii | FATAMORGANA

Tinggal di Bangkalan-Madura. Cerpennya yang lain berjudul “Bara Dupa” dimuat di situs kibul.in.


Akhirnya Bapak menamparku setelah kesekian kalinya aku berteriak kepada para awak kapal bahwa di arah barat, tepat di bawah bayang-bayang senja hendak menyelam, daratan mulai terlihat. Empat hari sejak malapetaka di Selat Karimata, laut telah begitu jauh menghanyutkan kami. Mestinya daratan yang kulihat itu Natuna, atau Pangkalpinang, atau mungkin Singapura.

Orang-orang hanya memandangku, menampilkan air muka yang tak berubah sejak pertama kali kuyakinkan tentang daratan di ujung sana. Tak tampak sedikit pun aura penuh harap seperti juga tak ada kecemasan di wajah tua mereka, kecuali kesabaran yang hambar dan kaku. Para pelaut ini enggan menghabiskan tenaga untuk berpikir di arah mana daratan paling dekat dan apa yang mesti dilakukan setelahnya.

Aku mengerti, meski tak sepenuhnya yakin, laut yang sudah bertahun-tahun mereka gumuli tidak akan diam begitu saja. Ia akan mengirim pesan, entah melalui arus ombak, angin laut, atau sekumpulan ikan, yang hanya bisa dimengerti oleh pelaut tua berpengalaman dengan hanya menunggu dan menunggu.

Keyakinan itu pula yang membuat kami tetap tidak melakukan sesuatu, bahkan setelah daratan kini hanya sejauh mataku memandang. Entah kenapa sejak awal mereka tak mau percaya dan menganggapku sedang membual. Orang yang mestinya berpihak kepadaku justru menamparku.

Rasanya memang tak terlalu keras, selain karena air membatasi kelincahan gerak tubuh manusia, Bapak juga sudah kehilangan banyak tenaga. Walau begitu, tamparan yang mendarat di pipi kanan itu cukup membuatku tertegun. Itu tamparan pertama yang datang dari Bapak, setelah puluhan lainnya berasal dari tangan brengsek guru olahraga dan guru bahasa inggris di sekolah.

Sekonyong-konyong aku menangis dan tak kuasa memuntahkan kata-kata. Saat gelap mulai merayap, aku beranjak ke tengah rakit. Malam ini aku ingin tidur di atas rakit, peduli setan awak kapal lain yang sampai harus mengaitkan tangan ke rakit agar tak lenyap saat mata mereka terlelap. Marah, sedih, kecewa, atau apalah perasaan terkutuk ini, yang memaksaku menjauh dari Bapak.

Sempat ingin kuterjang mulut Pak Tua Sinwani yang mencoba menghibur dengan kalimat yang sama sekali tidak bijak, tetapi berhasil kuurungkan. Seumur hidupnya ia pernah mengalami tiga kali karam dan selalu selamat. Kalaupun pengalaman keempat ini ia ditakdirkan lain, ia haruslah mati karena tenggelam. Itu lebih terhormat bagi seorang pelaut tua, daripada tewas secara konyol dengan bekas telapak kaki menempel di mulut.

“Sudahlah, aku ingin tidur,” kataku pada Pak Tua Sinwani.

Syukurlah ia lekas mengerti. Tubuhnya menyingkir untuk memberiku sedikit ruang. Kini tak ada lagi pemandangan ayam potong di atas telenan, diganti dua baris ikan teri yang sedang membusuk kedinginan.

Suasana kembali hening seperti malam pertama pasca kapal “Maju Jaya” karam. Bahkan tak terdengar lagi bisikan doa dari mulut para awak kapal. Tampaknya mereka semua sudah pasrah. Mengikat diri pada rakit bukan lagi upaya mempertahankan hidup. Itu kami lakukan hanya agar mayat kami suatu saat bisa ditemukan dan dipulangkan ke keluarga, sehingga istri atau ibu kami tidak perlu mengotori pantai dengan bunga ziarah mereka.

Keheningan kemudian membiusku hingga lelap.

*** Fatamorgana | fatamorgana

Setelah kami berhasil berkumpul pada sebuah rakit yang dibikin secara darurat, aku hanya mendengar Om Junaedi berseru supaya melepas semua pakaian. Katanya aku tak perlu khawatir, karena hiu yang kelaparan sekalipun tidak sudi memangsa tubuh seorang bujang yang kesepian. Ia juga berteriak marah kepada Rusli karena bahkan belum menanggalkan ranselnya.

“Kalaupun kau selamat nantinya, yang akan istrimu tanyakan pertama adalah keadaan pelirmu, seberapa mengkerut ia selama berhari-hari di dalam air. Bukan uangmu, Li!”

Apa boleh buat, Rusli melepas ransel dan dengan sayang membiarkan air laut menelannya perlahan-lahan. Sekali ia coba menariknya lagi ke permukaan, lalu membiarkan ransel kembali tenggelam, menyadari Om Junaedi masih memperhatikan. Ya Tuhan, aku membayangkan Rose dan Jack pada diri seorang Rusli dan ranselnya yang entah berisi apa. Uang barangkali, dan oleh-oleh untuk Safna, anaknya.

Di sampingku, Bapak memastikan keberadaan satu sama lain, menghitung bahkan memanggil nama-nama yang ia pikir belum terlihat. Pemilik nama pun menyambar sahut, sebagian memang berada di sebelah kanan-kiri Bapak, terhalangi kepala awak kapal lain.

Posisi kami kini mengitari rakit yang katakanlah berbentuk persegi, dengan tangan menempel pada sisi rakit dan tubuh melayang di dalam air. Kecuali Pak Tua Sinwani yang tubuh lapuknya meringkuk telanjang di atas rakit, persis seperti ayam potong di atas telenan siap dicincang. Orang-orang memaksanya untuk merebahkan diri, bertelungkup membelakangi matahari yang terasa lebih menusuk dibanding ketika di daratan. Tanpa dipaksa pun Pak Tua Sinwani juga sudah tahu, menelentangkan tubuh dan membiarkan panas matahari menerobos langsung ke paru-paru hanya akan membuatnya semakin dekat dengan kematian.

Selanjutnya kami semua hanya menunggu. “Menunggu apa yang akan laut lakukan kepada tiga belas manusia telanjang yang kini terombang-ambing bersama rakit keparat ini!” pikirku frustasi. Ini baru hari pertama, dan aku merasa mempersiapkan kematian jauh lebih masuk akal dibanding membayangkan kapal nelayan, polair, atau apa pun, datang menyelamatkan kami.

Gelap belum akan datang. Tapi kalimat doa sayup-sayup mulai terdengar dari mulut para awak kapal. Suaranya berkelahi dengan deru ombak dan angin sore yang semakin dingin.

*** Fatamorgana | fatamorgana

Ke mana mereka pergi? Di atas rakit ini hanya aku dan tubuh seseorang yang bukan lagi Pak Tua Sinwani. Ia bangkit dan bersila menghadapku. Cahaya yang terpancar dari wajahnya cukup menyilaukan di saat malam sedang berada di puncak gelap. Astaga, ini orang yang tadi menamparku. Sebaiknya tidak perlu ada acara maaf-memaafkan untuk dua lelaki dewasa, sekalipun antara ayah dan anak.

“Kau boleh marah kepadaku, Nak,” sambil tersenyum ia melanjutkan, “tapi percayalah, sejak hari yang celaka itu, daratan sama sekali belum terlihat. Yang kaulihat hanya fatamorgana.”

Kalimatnya yang terakhir terdengar menggema laiknya sebuah sabda yang datang dari Sang Dewa. Heran sekali, belum pernah Bapak bertingkah dan bersuara seaneh ini. Tapi tetap saja keanehan itu belum membuatku mau berbicara dengannya lagi.

Tiba-tiba aku kaget dan terjaga. Sepertinya seseorang telah mengguyur kepalaku dengan air. Batinku siapa orang tolol yang hendak mengajakku bermain air di tengah lautan tanpa ujung ini?

Belum sempat melampiaskan amarah, aku kembali dikejutkan. Kali ini datang dari arah depan, sesuatu menyerupai kipas tangan mengibas-ngibas di permukaan, menciptakan gelombang ombak yang mengguncang rakit dan orang-orang yang menempel di sekitarnya. Air yang tadi mengguyur kepala juga berasal dari keributan itu, dan sekali lagi mengguyur wajah serta kepalaku.

Celaka, aku melihatnya. Adikku yang masih TK juga tahu itu adalah seekor paus. Bagian atas kepalanya memuncratkan air sebelum ekornya kembali beratraksi dengan laut. Paus sirip itu seolah ingin menunjukkan kedigdayaan di wilayah kekuasaannya. Oh kawan, inikah belas kasih laut yang kalian nanti-nantikan?

Sekali lagi ia mengirim gelombang dan menghantam rakit. Pak Tua Sinwani nyaris terpelanting seandainya aku gagal mengikatkan lengan pada lehernya. Tangan kanannya tak lagi kuat berpegangan pada rakit, setelah tersayat bagian ujung kayu hingga berdarah. Dalam keadaan seperti ini menempel pada sisi rakit jelas lebih aman dibanding berselancar di atasnya—bersama aki-aki pula.

Baiklah, kini aku lebih siap menyambut serangan. Sepotong kayu sudah di tangan. Sekarang bukalah mulut besarmu, Ikan Paus. Aku akan terjun ke perutmu dan membantaimu dari dalam. Tak berselang lama, ikan paus tersebut bergerak, tetapi menjauh. Semoga ia tidak sedang mengambil ancang-ancang.

“Ia sudah mengibaskan ekor sebanyak tiga kali, tapi belum juga menelan satu pun dari kita,” kata Pak Tua Sinwani nyaris tak terdengar.

“Tentu kau tahu ia bahkan bisa menelan lebih dari satu, Pak Tua.”

“Justru itu, Anak Muda. Apa yang sebenarnya ia tunggu? Atau mungkin…”

Pak Tua Sinwani diam termangu. Melihat wajahnya, ia seperti memikirkan sesuatu atau barangkali sedang ingin berak, tak ada bedanya bagiku.

“Ini bukan panggung teater, Pak Tua. Kau tak perlu berlaku dramatis untuk menyampaikan kabar buruk.”

Tetap tak ada jawaban. Hendak kuguncang tubuhnya sebelum kepalanya mendadak menoleh ke arah belakang, memicingkan mata, kemudian berkata, “Apa cuma aku yang melihat cahaya lampu kapal sedang mendekat?”

Sontak para awak kapal berteriak suka cita, pertanda mereka juga melihatnya. Bagaimanapun, aku turut bersuka cita menyambut kapal polair, setelah hampir gila di tengah lautan selama empat hari.

Tapi, “mana Bapak?” sekali lagi aku berteriak, “Bapakku mana?” setelah tempat ia mengikat diri pada sisi rakit hanya menyisakan tali.

Apa yang harus kukatakan pada Ibu yang berpesan sebelum kami berlayar, “jangan pulang jika tak bersama satu sama lain.”


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung | Fatamorgana

Baca juga:
Rumah Tak Selalu Bikin Betah
Catullus: Kelembutan dan Kompleksitasnya


Komentar Anda?